Beberapa tahun terakhir tes psikologi berbasis online mengalami lonjakan popularitas, mulai dari skrining kecemasan di aplikasi kesehatan mental hingga asesmen kepribadian dalam proses rekrutmen, akses terhadap tes psikologi kini tersedia hanya dengan beberapa klik. Di satu sisi, hal ini membuka peluang besar bagi masyarakat untuk memahami kondisi mental mereka tanpa batasan tempat dan waktu. Namun di sisi lain, muncul satu pertanyaan krusial yang belum sepenuhnya terjawab: apakah data psikologis pengguna benar-benar aman?
Privasi menjadi salah satu isu paling sensitif dalam layanan psikologi digital. Tidak seperti data umum seperti usia atau alamat email, data hasil tes psikologi memuat informasi sangat pribadi, mulai dari tingkat kecemasan, gejala depresi, nilai-nilai hidup, hingga potensi gangguan mental. Data semacam ini bisa berdampak besar jika disalahgunakan, baik oleh perusahaan, institusi pendidikan, maupun pihak tak bertanggung jawab. Oleh karena itu, saat seseorang mengikuti tes psikologi secara online, sebenarnya ia sedang membuka lapisan paling dalam dari dirinya dan mempercayakannya pada sistem digital yang tak selalu transparan.
Salah satu tantangan terbesar dalam menjamin privasi pengguna adalah lemahnya regulasi. Di banyak negara berkembang, belum ada regulasi khusus yang mengatur perlindungan data psikologis secara ketat. Bahkan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia (UU PDP 2022), kategori data psikologi belum disebutkan secara eksplisit, meskipun termasuk dalam data sensitif. Akibatnya, banyak platform digital yang menyelenggarakan tes psikologi belum sepenuhnya mematuhi prinsip keamanan data yang seharusnya diterapkan, seperti enkripsi, batasan akses internal, atau persetujuan eksplisit pengguna sebelum data dikumpulkan.
Ironisnya, sebagian besar pengguna juga belum sepenuhnya sadar akan risiko ini. Studi oleh Fadhilah et al. (2023) menemukan bahwa lebih dari 60% responden mengaku tidak membaca syarat dan ketentuan sebelum mengikuti tes psikologi online, termasuk informasi tentang bagaimana data mereka akan digunakan. Dalam banyak kasus, data hasil tes digunakan untuk pengembangan algoritma perusahaan, segmentasi iklan, atau bahkan dijual ke pihak ketiga tanpa persetujuan jelas. Hal ini menjadi sangat berbahaya apabila hasil tes menunjukkan gejala psikologis tertentu yang bisa disalahartikan atau dimanipulasi.
Risiko privasi juga semakin besar dalam konteks rekrutmen atau pendidikan. Bayangkan seorang kandidat kerja mengikuti tes kepribadian online, lalu hasilnya dibagikan ke beberapa divisi tanpa pengamanan atau klarifikasi interpretasi. Tanpa adanya kode etik yang tegas, informasi tersebut bisa digunakan untuk menjustifikasi penolakan atau penempatan kerja yang tidak adil. Dalam konteks akademik, siswa yang mengikuti tes minat dan bakat secara daring juga berisiko dilabeli secara sepihak oleh pihak sekolah, apalagi jika hasil tes disimpan di sistem terbuka tanpa batasan akses.
Maka, bagaimana seharusnya tes psikologi online dijalankan tanpa mengorbankan privasi? Jawabannya tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada etika. Setiap penyelenggara tes psikologi daring harus menerapkan prinsip privacy by design, yaitu menempatkan privasi sebagai pondasi utama dalam setiap tahap desain sistem, dari pengumpulan data, penyimpanan, hingga pemusnahan data. Selain itu, transparansi terhadap pengguna sangat penting. Mereka harus diberi tahu secara jelas apa tujuan tes, siapa yang akan mengakses hasilnya, dan bagaimana data disimpan serta digunakan.
Beberapa platform sudah mulai menerapkan kebijakan ini. Misalnya, layanan seperti Mindstrong dan Woebot secara eksplisit mencantumkan kebijakan privasi, menyertakan fitur anonymization data, serta menyediakan opsi hapus permanen bagi pengguna. Namun, contoh seperti ini masih minoritas. Sebagian besar penyedia tes psikologi online, terutama yang berbasis media sosial atau konten viral, justru menggunakan hasil tes untuk meningkatkan traffic atau kepentingan iklan.
Bagi pengguna, langkah preventif juga penting. Sebelum mengikuti tes psikologi online, pastikan platform tersebut jelas identitasnya, menggunakan alat tes yang valid, serta memiliki pernyataan privasi yang lengkap. Hindari mengikuti tes yang tidak disertai informasi kontak profesional, atau yang meminta data pribadi tanpa penjelasan tujuan. Masyarakat juga perlu meningkatkan literasi digital, terutama dalam memahami apa saja yang tergolong data sensitif dan bagaimana hak mereka dalam mengelolanya.
Di tengah gempuran teknologi yang serba cepat, penting bagi kita untuk tidak kehilangan kontrol atas informasi pribadi, terutama yang menyangkut kondisi psikologis. Tes online memang menawarkan kemudahan, namun tanpa regulasi dan etika yang memadai, ia bisa menjadi bumerang bagi privasi individu.
Sebagai bagian dari komitmen terhadap perlindungan data dan profesionalisme, layanan psikotes daring di Smile Consulting Indonesia selalu menjunjung tinggi privasi klien. Setiap data hasil tes dijamin kerahasiaannya, digunakan hanya oleh tenaga profesional berlisensi, dan tidak dibagikan tanpa persetujuan tertulis. Kami percaya bahwa privasi bukan hanya tanggung jawab sistem, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap martabat individu.
Referensi:
Fadhilah, A., Nugraha, H., & Pratama, A. (2023). Kesadaran Masyarakat Terhadap Privasi Data Psikologi dalam Platform Digital. Jurnal Psikologi Digital, 2(1), 45–60.
Luxton, D. D. (2016). Artificial Intelligence in Behavioral and Mental Health Care. Academic Press.
Privacy International. (2020). Mental Health and Data Rights. Retrieved from https://privacyinternational.org
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi.