Memuat...
24 September 2025 14:51

Emotional Disengagement: Hadir Fisik, Kosong Emosional

Bagikan artikel

Pendahuluan

Banyak orang bangun pagi, pergi ke kantor, menyelesaikan tugas, lalu pulang. Semua tampak dijalani seperti robot. Mereka hadir secara fisik, tetapi emosi mereka tertinggal jauh di belakang. Itulah gambaran emotional disengagement, kondisi ketika seseorang terputus secara emosional dari pekerjaan, lingkungan sosial, bahkan dari dirinya sendiri.

Apa itu Emotional Disengagement?

Secara sederhana, emotional disengagement adalah kehilangan keterhubungan emosional dengan aktivitas, relasi, atau peran yang dijalani. Orang mungkin tampak "baik-baik saja", tetapi sebenarnya tidak merasakan makna, koneksi, atau motivasi emosional dalam hidup sehari-hari. Menurut Harvard Business Review (2022), disengagement ini adalah salah satu penyebab utama menurunnya produktivitas dan kepuasan kerja.

Apa bedanya Emotional Disengagement dengan Burnout?

Emotional disengagement berbeda dengan burnout. Jika burnout ditandai dengan kelelahan ekstrem dan kehilangan energi, disengagement lebih kepada hilangnya koneksi emosional dan makna kerja. Orang yang mengalami disengagement tidak lagi merasa terikat atau terinspirasi oleh pekerjaannya, meskipun mereka masih mampu menyelesaikan tugas secara fungsional.

Apa Penyebab, Tanda-tanda, dan Dampak dari Emotional Disengagement?

Penyebabnya beragam. Ada beberapa merasa tidak mendapat apresiasi atas kontribusinya. Yang lain merasa terjebak dalam rutinitas tanpa arah atau makna. Gaya kepemimpinan yang terlalu otoriter, budaya kerja yang hanya menilai angka, serta minimnya kesempatan berkembang juga menjadi pemicu utama. Tidak jarang, emotional disengagement muncul setelah krisis besar seperti pandemi, saat banyak orang mempertanyakan ulang nilai dari pekerjaannya. Dampak dari Emotional Disengagement cukup serius. Di level individu, kondisi ini dapat berujung pada stres kronis, kecemasan, bahkan depresi. Di level organisasi, disengagement menyebabkan penurunan inovasi, kolaborasi, dan loyalitas. Lebih parahnya lagi, hal ini dapat menular ke rekan kerja lain yang menyerap energi negatif dari lingkungan sekitar. Tanda-tandanya kerap dirasakan secara halus, dimana munculnya inisiatif yang minim komunikasi seadanya, absen dari kegiatan non-formal, atau sekadar menjalani pekerjaan tanpa emosi. 

Bagaimana cara mengatasinya?

Mengatasi emotional disengagement bukan hanya tanggung jawab HR, tapi seluruh struktur organisasi. Pemimpin perlu menciptakan lingkungan yang terbuka, memberi ruang dialog, serta membantu individu menemukan kembali makna dari pekerjaannya. Pada akhirnya, kita bekerja bukan hanya untuk menyelesaikan tugas, tapi untuk merasakan bahwa apa yang kita lakukan berarti. Emotional engagement tidak bisa dipaksakan untuk segera terjadi, tapi bisa dibangun dengan koneksi, kepercayaan, dan rasa bahwa diri kita penting di dalam sistem. Percayakan asesmen karyawan Anda pada biro psikologi resmi Assessment Indonesia, pusat asesmen psikologi dengan layanan terbaik. 

Referensi:
Gallup (2023). State of the Global Workplace. www.gallup.com

Maslach, C. & Leiter, M. (2016). The Truth About Burnout.

Bagikan