Burnout merupakan kondisi ketika seseorang mengalami kelelahan secara fisik maupun psikis akibat tekanan pekerjaan yang berlangsung terus-menerus. Keadaan ini umumnya muncul karena lingkungan kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai dengan kebutuhan serta harapan individu. Bentuk burnout biasanya ditandai dengan rasa lelah fisik, mental, dan emosional yang cukup intens. Faktor penyebabnya dapat berupa ketidakjelasan peran dan tanggung jawab, serta konflik peran ketika tuntutan pekerjaan tidak sejalan dengan nilai pribadi yang dianut.
Tekanan kerja yang berkepanjangan berisiko menimbulkan stres, dan apabila stres terjadi dalam jangka waktu lama dengan intensitas tinggi, individu dapat mengalami kelelahan fisik maupun mental yang dikenal sebagai burnout Leatz & Stolar, dalam Rosyid & Farhati, 1996. Lingkungan kerja yang buruk, seperti minimnya dukungan atasan, persaingan tidak sehat antar rekan kerja, dan ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, merupakan faktor yang berkontribusi pada munculnya burnout.
Sejumlah penelitian sebelumnya memang lebih banyak menyoroti burnout pada profesi yang bergerak di bidang pelayanan, seperti tenaga kesehatan, guru, maupun pekerja layanan publik. Namun, burnout juga dapat dialami oleh berbagai jenis pekerjaan lain dalam konteks organisasi maupun industri Maslach, Jackson, & Leiter, 1996. Burnout sendiri dipahami sebagai kondisi psikologis dan fisik akibat stres kerja berkepanjangan yang menuntut energi, waktu, dan sumber daya secara berlebihan. Kondisi ini tidak hanya berdampak buruk bagi individu, seperti menurunnya kesehatan fisik dan mental, tetapi juga bagi organisasi melalui menurunnya kinerja, rendahnya keterlibatan kerja, meningkatnya absensi, hingga turnover karyawan Maslach & Jackson, 1982; Leiter & Maslach, 1988; Wright & Bonett, 1997; Wright & Cropanzano, 1998.
Selain faktor lingkungan kerja, burnout juga dipengaruhi oleh sikap individu terhadap pengembangan karier. Sikap ini bersifat dinamis, dapat berubah sesuai pengalaman, kondisi, maupun interaksi dengan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa burnout bukan hanya persoalan eksternal, tetapi juga terkait dengan cara individu memaknai dan merespons tuntutan pekerjaannya Sherif & Sherif, 1956, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006.
Burnout berdampak luas baik pada individu maupun organisasi. Pada level individu, kondisi ini dapat menimbulkan gejala fisik seperti sakit kepala, gangguan tidur, kelelahan kronis, hingga masalah psikosomatis Shirom, 1989. Dari sisi psikologis, individu yang mengalami burnout rentan merasakan depresi, kecemasan, penurunan motivasi, serta munculnya sikap sinis terhadap pekerjaan Wright & Cropanzano, 1998. Dampak ini tidak hanya berhenti pada diri pekerja, melainkan juga berimbas pada organisasi, seperti turunnya kinerja, meningkatnya absensi, rendahnya keterlibatan kerja, hingga turnover karyawan yang tinggi. Akumulasi dampak tersebut pada akhirnya merugikan produktivitas organisasi sekaligus menimbulkan biaya besar bagi perusahaan terkait perekrutan dan pelatihan ulang karyawan.
Strategi pemulihan dan pencegahan burnout memerlukan upaya komprehensif yang melibatkan individu maupun organisasi. Pada level individu, risiko burnout dapat dikurangi dengan menerapkan self-care seperti menjaga pola tidur, berolahraga, dan melakukan aktivitas relaksasi, sementara latihan mindfulness terbukti efektif menurunkan gejala burnout, khususnya pada tenaga kesehatan. Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga membantu individu mengubah pola pikir negatif dan meningkatkan keterampilan koping agar lebih adaptif. Di sisi lain, organisasi berperan penting melalui desain pekerjaan yang sehat, pemberian kejelasan peran, serta memastikan beban kerja proporsional, karena dukungan sosial dari atasan maupun rekan kerja terbukti berfungsi sebagai pelindung (buffer) terhadap burnout Maslach & Leiter, 2016. Selain itu, penerapan Employee Assistance Program (EAP) memungkinkan karyawan mengakses konseling dan dukungan psikologis ketika menghadapi tekanan berat. Dari perspektif sistemik, diperlukan kebijakan yang mengintegrasikan work-life balance, fleksibilitas kerja, dan penciptaan budaya organisasi yang suportif, sebab pencegahan jauh lebih efektif dibanding pemulihan karena burnout bersifat kronis dan sulit diatasi jika sudah parah. Burnout sendiri merupakan fenomena kompleks yang tidak hanya memengaruhi kesehatan pekerja tetapi juga menurunkan efektivitas organisasi, sehingga strategi penanganan yang menyeluruh menjadi kunci untuk menjaga kesejahteraan karyawan dan produktivitas perusahaan. Temukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.
Referensi
Demerouti, E., Bakker, A. B., Nachreiner, F., & Schaufeli, W. B. (2001). The job demands–resources model of burnout. Journal of Applied Psychology, 86(3), 499–512.
Leiter, M. P., & Maslach, C. (1988). The impact of interpersonal environment on burnout and organizational commitment. Journal of Organizational Behavior, 9(4), 297–308.
Rizka, Z. (2013). Sikap terhadap pengembangan karir dengan burnout pada karyawan. Jurnal Psikologi, 1(2), 1–10. ISSN: 2301-8267.
Wright, T. A., & Bonett, D. G. (1997). The contribution of burnout to work performance. Journal of Organizational Behavior, 18(5), 491–499.
Wright, T. A., & Cropanzano, R. (1998). Emotional exhaustion as a predictor of job performance and voluntary turnover. Journal of Applied Psychology, 83(3), 486–493.